Peluang dari Pertumbuhan Kelas Menengah
MEMASUKI
masa globalisasi, Indonesia telah melahirkan generasi baru yang turut menuntut
kebutuhan-kebutuhan baru. Pola konsumsi generasi baru ini senantiasa berkembang
dan meningkat sesuai dengan perkembangan zaman. Pola konsumsi yang menyesuaikan
dengan prinsip ekonomi, sebagaimana diungkapkan oleh James Desenbery: “Pengeluaran
konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya pendapatan
tertinggi yang pernah dicapainya.” Generasi inilah yang kemudian dikenal
dengan generasi kelas menengah. Generasi yang populasinya hampir mencapai 50
juta pada tahun ini.
Dari
tahun ke tahun perkembangan jumlah dan daya beli generasi kelas menengah terus
meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh McKinsey Global Institute,
diperkirakan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia akan mencapai 135 juta pada
2030.
Dalam
laporan terbarunya, Euromonitor
International telah
memproyeksikan bahwa generasi kelas menengah di Indonesia akan mencapai sekitar
58% dari jumlah penduduk pada tahun 2020. Ditambahkan pula, generasi kelas
menengah inilah yang nantinya akan menjadi kelas yang banyak menyumbang bagi
roda pertumbuhan ekonomi, dengan proyeksi upah minimun kelas menengah
Rp2.000.000 perbulan.
Lonjakan
jumlah kelas menengah tersebut akan berdampak dengan semakin kompetitifnya
produk-produk unggulan yang ditawarkan oleh para investor, sebab dengan daya
beli yang dimiliki oleh kelas menengah, mereka akan mulai mengeluarkan uang
untuk komoditi-komoditi dengan kualitas yang lebih baik. Perkembangan dan
peluang emas ini tidak luput dari perhatian para pengusaha pengembang bisnis
properti.
Seturut
dengan perkembangan generasi kelas menengah, tren pertumbuhan properti mulai
bergairah kembali. Pengembang-pengembang properti residential, industry,commercial, dan
objek khusus lainnya mulai berlomba-lomba untuk meningkatkan kuantitas serta
kualitas produk yang mereka tawarkan. Bahkan, tren perkembanganlife style
center mall pun tidak
ketinggalan untuk turut berbenah diri.
Perkembangan life style center mall dapat dilihat nyata dengan mulai
berdirinya mall-mall yang menawarkan kenyamanan dan pelayanan. Summarecon Mal
Serpong, Living World di Alam Sutera, Lotte Department Store, dan life style center malllainnya.
Alhasil, dengan pertumbuhan kelas menengah yang menginginkan kualitas komoditi
(kebutuhan hidup sehari-hari, elektronik, asuransi dan kebutuhan sekunder serta
tersier lainnya) sebagai demand, perkembangan life style center mall seakan telah menjadi pihak yang
menyediakan supply.
Perkembangan life style center mall pun semakin luas persebarannya.
Persebaran yang selama ini hanya berpusat di Central
Business District (CBD)
Jakarta, seiring dengan perkembangan kelas menengah, telah merambah
daerah-daerah di luar CBD Jakarta. Arief Rahardjo, Head of Research and Advisory
Cushman and Wakefield Indonesia, dalam sebuah berita di salah satu situs
berita online, mengatakan,
“Tren ritel di luar Jakarta seperti Tangerang terjadi karena berkembangnya
populasi masyarakat kelas menengah atas.” Menurut Arief, mula-mula populasi
masyarakat kelas menengah atas hanya ada di Jakarta. Namun, seiring
perkembangan Tangerang lewat infrastrukturnya semakin menguat, seperti tol
Merak juga Bintaro-Simatupang, kelas menengah atas ini bergeser ke atas.
Kedepannya,
pertumbuhan life style center
mall bukan tidak mungkin
mulai menyebar secara global, tidak hanya di pulau Jawa, bahkan Pulau Sumatera
dan Sulawesi, yang dikatakan sebagai tiga pulau di Indonesia dengan
perkembangan kelas menengah yang pesat.
Jurangmangu Timur, 26 Maret 2013
sumber : http://curcolholic.wordpress.com/2013/04/06/tes-menulis-artikel-majalah-properti-indonesia/
Penggunaan EYD dan tanda baca yang benar adalah :
Setiap
warga negara Indonesia wajib beriman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Tak
hanya di dunia akademik, seharusnya dalam dunia jurnalistik juga harus
mengikuti kaidah EYD. Dalam dunia jurnalis, setiap koran, majalah, tabloid,
punya standar sendiri. Tapi, saat ini pula harus ditegaskan kembali dan beriman
pada EYD. Pasalnya, selama ini banyak kekeliruan terjadi dalam dunia
jurnalistik.
Beriman pada EYD adalah sebaik-baiknya menulis. Seperti
contoh ada yang memakai “sekedar” dan ada pula yang “sekadar”. Padahal yang
benar adalah “sekadar”. Ada yang pakai “layaknya” dan ada yang “laiknya”. Lalu,
jika ada pertanyaan, untuk kata “himbau”, yang benar apa? “menghimbau” apa
“mengimbau”? Yang tepat, adalah “menghimbau”. Kecuali kalau kata awalnya “K”. K
nya dibuang. Misalnya, koreksi, yang benar “mengoreksi” bukan “mengkoreksi”.
Komentar jadinya “mengomentari” bukan “mengkomentari”. Korupsi menjadi
“mengorupsi” bukan “mengkorupsi”. Kerja jadi “mengerjakan” bukan
“mengkerjakan”, dan sebagainya.
Yang awalannya “S” juga demikian, yaitu “S” nya dibuang.
Misalnya, “soal” menjadi “menyoal” bukan “mensoal”. Setuju menjadi “menyetujui”
bukan “mensetujui”. “Susu” menjadi “menyusui” bukan “mensusui”. Sepakat menjadi
“menyepakati” bukan “mensepakati, dan sebagainya. Kalau awalnya H masih juga tetap.
Misalnya, hormat jadinya “menghormati” bukan “mengormati”. Hina jadi “menghina”
bukan “mengina”. Hadiah jadi “menghadiahi” bukan “mengadiahi”. Harga jadi
“menghargai” bukan “mengargai”. Itulah beberapa contoh kesalahan berbahasa yang
terjadi selama ini.
Salah Kaprah
Dunia yang serba digital dan modern memang menyeret
manusia untuk mengikutinya. Akan tetapi, banyak sekali cara berbahasa “salah
kaprah” atau dikenal dengan bahasa “alay” dan “lebay”. Dan hal itu sering
terjadi di kalangan mahasiswa, dan umumnya usia SMA dan SMP. Bahasa Indonesia
yang baku menjadi salah kaprah. Dan ironisnya, bahasa “alay” tersebut menjadi
kebiasaan yang dianggap sebagai suatu yang benar. Padahal, dalam berbahasa
harus membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan.
Seperti contoh kata “semangat” berubah menjadi
“cumungut”. Kata “banget” menjadi “beud”, “ya” menjadi “eya”, “keren” berubah
menjadi “keyen”, dan sebagainya. Di sisi lain, muncul juga kata baru yang
membudaya, dan kata itu belum direstui EYD. Misalnya, “unyu-unyu” dan “chibi-chibi”
yang diartikan sebagai “lucu, menarik, dan anggun”.
Menegaskan Kembali
Bahasa tulisan memang berbeda dengan lisan. Akan tetapi, sebagai warga negara yang baik haruslah memegang teguh bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan. Bagi penulis, hal itu menjadi keniscayaan. Memang sulit menjadi insan yang tunduk dan patuh pada EYD bahasa Indonesia. Dan alasan globalisasi bukan menjadi alibi untuk tidak beriman pada EYD. Mengapa demikian? Seharusnya kaum intelektual harus menjadi contoh pemakai bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD. Bukan justru menjadi pemakai setia bahasa “alay”. Apalagi, saat ini komunikasi manusia Indonesia tidak hanya di dunia nyata, namun dunia elektronik dan maya sudah menjadi “makanan” sehari-hari manusia Indonesia.
Dalam dunia maya, seperti internet, facebook, twitter,
banyak sekali pembiasaan berbahasa Indonesia yang salah-kaprah. Ironisnya,
pembiasaan itu terbawa pada dunia nyata dan forum formal, seperti dunia kuliah,
di kantor, forum rapat, dan interaksi dengan masyarakat luas. Karena terbiasa
memakai bahasa “alay”, maka dalam berkomunikasi akademik pun banyak tercampuri
bahasa “alay” tersebut.
Atas dasar di atas, kita harus tegaskan kembali bahwa
beriman, bertakwa, dan menjalankan perintah EYD hukumnya adalah wajib. Baik di
dalam percakapan maupun dalam tulisan. Pasalnya, manusia Indonesia yang baik
adalah cinta dan melestarikan bangsa Indonesia dalam kondisi apa pun. Itulah
wujud cinta Tanah Air dan membuktikan nasionalisme tingkat tinggi.
Apa Solusinya?
Sebenarnya, kesalahan berbahasa menjadi bukti rasa
nasionalisme dan rasa cinta bahasa Indonesia rendah, serta membuktikan tingkat
rendahnya pengetahun. Maka dari itu, solusi pertama adalah merubah pola pikir
bahwa berbahasa Indonesia sangat penting dan harus dibiasakan serta
dilestarikan. Kalau bukan orang Indonesia yang melestarikan, lalu siapa lagi?
Karena tidak mungkin orang Arab dan Amerika yang melestarikannya.
Kedua, banyak belajar dan meningkatkan intensitas
berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bisa lewat baca buku, artikel, jurnal,
serta meningkatkan pemahaman tentang tata cara berbahasa yang benar. Berbahasa
Indonesia dengan baik dan menjadi wujud maju dan tidaknya bangsa ini, baik
berupa lisan maupun tulisan. Maka, beriman dan bertakwa pada EYD adalah kewajiban
bagi bangsa ini.
Ketiga, mencintai bahasa Indonesia. Karena kalau bahasa
Indonesia tidak dicintai, maka dengan alasan apapun manusia Indonesia akan
sulit membiasakan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Keempat,
menegaskan kembali betapa pentingnya berbahasa Indonesia sesuai aturan main,
karena bangsa yang besar adalah bangsa yang cinta bahasanya sendiri. Karena
itu, masih ragukah Anda untuk beriman dan bertakwa pada bahasa Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar