Senin, 14 Oktober 2013

EYD dan Tanda Baca

Peluang dari Pertumbuhan Kelas Menengah
MEMASUKI masa globalisasi, Indonesia telah melahirkan generasi baru yang turut menuntut kebutuhan-kebutuhan baru. Pola konsumsi generasi baru ini senantiasa berkembang dan meningkat sesuai dengan perkembangan zaman. Pola konsumsi yang menyesuaikan dengan prinsip ekonomi, sebagaimana diungkapkan oleh James Desenbery: “Pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya.” Generasi inilah yang kemudian dikenal dengan generasi kelas menengah. Generasi yang populasinya hampir mencapai 50 juta pada tahun ini.
Dari tahun ke tahun perkembangan jumlah dan daya beli generasi kelas menengah terus meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh McKinsey Global Institute, diperkirakan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia akan mencapai 135 juta pada 2030.
Dalam laporan terbarunya, Euromonitor International telah memproyeksikan bahwa generasi kelas menengah di Indonesia akan mencapai sekitar 58% dari jumlah penduduk pada tahun 2020. Ditambahkan pula, generasi kelas menengah inilah yang nantinya akan menjadi kelas yang banyak menyumbang bagi roda pertumbuhan ekonomi, dengan proyeksi upah minimun kelas menengah Rp2.000.000 perbulan.
Lonjakan jumlah kelas menengah tersebut akan berdampak dengan semakin kompetitifnya produk-produk unggulan yang ditawarkan oleh para investor, sebab dengan daya beli yang dimiliki oleh kelas menengah, mereka akan mulai mengeluarkan uang untuk komoditi-komoditi dengan kualitas yang lebih baik. Perkembangan dan peluang emas ini tidak luput dari perhatian para pengusaha pengembang bisnis properti.
Seturut dengan perkembangan generasi kelas menengah, tren pertumbuhan properti mulai bergairah kembali. Pengembang-pengembang properti residential, industry,commercial, dan objek khusus lainnya mulai berlomba-lomba untuk meningkatkan kuantitas serta kualitas produk yang mereka tawarkan. Bahkan, tren perkembanganlife style center mall pun tidak ketinggalan untuk turut berbenah diri.
Perkembangan life style center mall dapat dilihat nyata dengan mulai berdirinya mall-mall yang menawarkan kenyamanan dan pelayanan. Summarecon Mal Serpong, Living World di Alam Sutera, Lotte Department Store, dan life style center malllainnya. Alhasil, dengan pertumbuhan kelas menengah yang menginginkan kualitas komoditi (kebutuhan hidup sehari-hari, elektronik, asuransi dan kebutuhan sekunder serta tersier lainnya) sebagai demand, perkembangan life style center mall seakan telah menjadi pihak yang menyediakan supply.
Perkembangan life style center mall pun semakin luas persebarannya. Persebaran yang selama ini hanya berpusat di Central Business District (CBD) Jakarta, seiring dengan perkembangan kelas menengah, telah merambah daerah-daerah di luar CBD Jakarta. Arief Rahardjo, Head of Research and Advisory Cushman and Wakefield Indonesia, dalam sebuah berita di salah satu situs berita online, mengatakan, “Tren ritel di luar Jakarta seperti Tangerang terjadi karena berkembangnya populasi masyarakat kelas menengah atas.” Menurut Arief, mula-mula populasi masyarakat kelas menengah atas hanya ada di Jakarta. Namun, seiring perkembangan Tangerang lewat infrastrukturnya semakin menguat, seperti tol Merak juga Bintaro-Simatupang, kelas menengah atas ini bergeser ke atas.
Kedepannya, pertumbuhan life style center mall bukan tidak mungkin mulai menyebar secara global, tidak hanya di pulau Jawa, bahkan Pulau Sumatera dan Sulawesi, yang dikatakan sebagai tiga pulau di Indonesia dengan perkembangan kelas menengah yang pesat.
Jurangmangu Timur, 26 Maret 2013
Penggunaan EYD dan tanda baca yang benar adalah :

Setiap warga negara Indonesia wajib beriman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Tak hanya di dunia akademik, seharusnya dalam dunia jurnalistik juga harus mengikuti kaidah EYD. Dalam dunia jurnalis, setiap koran, majalah, tabloid, punya standar sendiri. Tapi, saat ini pula harus ditegaskan kembali dan beriman pada EYD. Pasalnya, selama ini banyak kekeliruan terjadi dalam dunia jurnalistik.
Beriman pada EYD adalah sebaik-baiknya menulis. Seperti contoh ada yang memakai “sekedar” dan ada pula yang “sekadar”. Padahal yang benar adalah “sekadar”. Ada yang pakai “layaknya” dan ada yang “laiknya”. Lalu, jika ada pertanyaan, untuk kata “himbau”, yang benar apa? “menghimbau” apa “mengimbau”? Yang tepat, adalah “menghimbau”. Kecuali kalau kata awalnya “K”. K nya dibuang. Misalnya, koreksi, yang benar “mengoreksi” bukan “mengkoreksi”. Komentar jadinya “mengomentari” bukan “mengkomentari”. Korupsi menjadi “mengorupsi” bukan “mengkorupsi”. Kerja jadi “mengerjakan” bukan “mengkerjakan”, dan sebagainya.
Yang awalannya “S” juga demikian, yaitu “S” nya dibuang. Misalnya, “soal” menjadi “menyoal” bukan “mensoal”. Setuju menjadi “menyetujui” bukan “mensetujui”. “Susu” menjadi “menyusui” bukan “mensusui”. Sepakat menjadi “menyepakati” bukan “mensepakati, dan sebagainya. Kalau awalnya H masih juga tetap. Misalnya, hormat jadinya “menghormati” bukan “mengormati”. Hina jadi “menghina” bukan “mengina”. Hadiah jadi “menghadiahi” bukan “mengadiahi”. Harga jadi “menghargai” bukan “mengargai”. Itulah beberapa contoh kesalahan berbahasa yang terjadi selama ini.

Salah Kaprah

Dunia yang serba digital dan modern memang menyeret manusia untuk mengikutinya. Akan tetapi, banyak sekali cara berbahasa “salah kaprah” atau dikenal dengan bahasa “alay” dan “lebay”. Dan hal itu sering terjadi di kalangan mahasiswa, dan umumnya usia SMA dan SMP. Bahasa Indonesia yang baku menjadi salah kaprah. Dan ironisnya, bahasa “alay” tersebut menjadi kebiasaan yang dianggap sebagai suatu yang benar. Padahal, dalam berbahasa harus membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan.
Seperti contoh kata “semangat” berubah menjadi “cumungut”. Kata “banget” menjadi “beud”, “ya” menjadi “eya”, “keren” berubah menjadi “keyen”, dan sebagainya. Di sisi lain, muncul juga kata baru yang membudaya, dan kata itu belum direstui EYD. Misalnya, “unyu-unyu” dan “chibi-chibi” yang diartikan sebagai “lucu, menarik, dan anggun”.

Menegaskan Kembali

Bahasa tulisan memang berbeda dengan lisan. Akan tetapi, sebagai warga negara yang baik haruslah memegang teguh bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan. Bagi penulis, hal itu menjadi keniscayaan. Memang sulit menjadi insan yang tunduk dan patuh pada EYD bahasa Indonesia. Dan alasan globalisasi bukan menjadi alibi untuk tidak beriman pada EYD. Mengapa demikian? Seharusnya kaum intelektual harus menjadi contoh pemakai bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD. Bukan justru menjadi pemakai setia bahasa “alay”. Apalagi, saat ini komunikasi manusia Indonesia tidak hanya di dunia nyata, namun dunia elektronik dan maya sudah menjadi “makanan” sehari-hari manusia Indonesia.
Dalam dunia maya, seperti internet, facebook, twitter, banyak sekali pembiasaan berbahasa Indonesia yang salah-kaprah. Ironisnya, pembiasaan itu terbawa pada dunia nyata dan forum formal, seperti dunia kuliah, di kantor, forum rapat, dan interaksi dengan masyarakat luas. Karena terbiasa memakai bahasa “alay”, maka dalam berkomunikasi akademik pun banyak tercampuri bahasa “alay” tersebut.
Atas dasar di atas, kita harus tegaskan kembali bahwa beriman, bertakwa, dan menjalankan perintah EYD hukumnya adalah wajib. Baik di dalam percakapan maupun dalam tulisan. Pasalnya, manusia Indonesia yang baik adalah cinta dan melestarikan bangsa Indonesia dalam kondisi apa pun. Itulah wujud cinta Tanah Air dan membuktikan nasionalisme tingkat tinggi.

Apa Solusinya?

Sebenarnya, kesalahan berbahasa menjadi bukti rasa nasionalisme dan rasa cinta bahasa Indonesia rendah, serta membuktikan tingkat rendahnya pengetahun. Maka dari itu, solusi pertama adalah merubah pola pikir bahwa berbahasa Indonesia sangat penting dan harus dibiasakan serta dilestarikan. Kalau bukan orang Indonesia yang melestarikan, lalu siapa lagi? Karena tidak mungkin orang Arab dan Amerika yang melestarikannya.
Kedua, banyak belajar dan meningkatkan intensitas berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bisa lewat baca buku, artikel, jurnal, serta meningkatkan pemahaman tentang tata cara berbahasa yang benar. Berbahasa Indonesia dengan baik dan menjadi wujud maju dan tidaknya bangsa ini, baik berupa lisan maupun tulisan. Maka, beriman dan bertakwa pada EYD adalah kewajiban bagi bangsa ini.
Ketiga, mencintai bahasa Indonesia. Karena kalau bahasa Indonesia tidak dicintai, maka dengan alasan apapun manusia Indonesia akan sulit membiasakan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Keempat, menegaskan kembali betapa pentingnya berbahasa Indonesia sesuai aturan main, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang cinta bahasanya sendiri. Karena itu, masih ragukah Anda untuk beriman dan bertakwa pada bahasa Indonesia?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar